Di atas laut dua sosok terbang. Di bawah awan-awan keduanya mengambang. Yang yakin mendekap yang bimbang. Dari bumi hanya terlihat titik putih yang cemerlang, yang lebih dekat dari bintang-bintang. Ribuan kera sedang menambak laut menjadi sebuah jembatan dengan puing-puing bukit yang ditebang. Mereka menganggap titik putih itu adalah jatuhnya bintang, maka mengharaplah mereka agar junjungan mereka menang.“Trijata, gerangan apakah yang memberanikanmu datang ke Gunung Maliawan?” ucap salah satu di antaranya, sembari mendekap perempuan yang disebutnya itu ke dadanya dengan erat. “Bisakah engkau pelankan sedikit terbangmu wahai wanara putih? Aku belum terbiasa dengan kecepatan terbangmu,” kata Trijata sembari menarik-narik sarung kotak-kotak hitam putih yang dikenakan sosok yang mendekapnya. Maka turunlah kecepatan terbang mereka, “Kerinduanku pada ayahku dan juga pesan Dewi Sinta untuk menjenguk Sri Rama adalah alasan yang melebihi keberanian. Inilah ketulusan seorang anak dan kebaktian seorang hamba,” kata Trijata sembari menahan rasa ingin mengutarakan kerinduannya pada sosok yang sedang mendekapnya.
Jauh-jauh ia datang dari Alengka ke Gunung Maliawan menantang laut dan bahaya pasukan kera bukan hanya untuk Wibisana dan Dewi Sinta, melainkan lebih karena rasa cinta dan rindunya pada Hanoman, sosok yang sekarang membawanya terbang. Sejak pertemuan pertamanya di taman Argasoka, Trijata telah menjatuhkan cinta pada Hanoman, tapi ia malu mengatakan hal itu. Hanoman sendiri tahu apa yang disimpan Trijata dalam hatinya. “Aku kira ada alasan lain selain ketulusan dan kebaktian,” pancing Hanoman. “Apakah itu?” “Semisal cinta.” “Kau mengerti cinta Hanoman?” kata Trijata. Tiba-tiba dekapan Hanoman tidak erat, melainkan keras. “Maaf, bukan maksudku untuk menghina. Aku hanya ingin tahu sejauh mana kau mengerti cinta.” dekapan Hanoman kembali seperti semula. “Dahulu, aku hanya mengenal cinta lewat Ibu Anjani. Cintanya sampai sekarang masih aku simpan dalam-dalam. Aku ingin sekali menatap wajahnya setelah beliau menjadi bidadari di kahyangan. Tapi, ketika aku bertemu Sri Rama, aku baru mengerti ada cinta lain. Cinta yang mampu mendorong Sri Rama untuk membebaskan Dewi Sinta dari tangan Rahwana. Ia pemuda yang gagah perkasa. Yang wajahnya mengandung cahaya bulan. Yang kulitnya putih pualam. Yang badannya tegak tebing. Yang harumnya melati berbaur sedap malam. Ia bisa saja kembali ke kerajaannya setelah masa pengasingannya dan mempersunting seorang gadis dari manapun. Atau kalau perlu bisa lebih dari satu. Kenyataannya, kesetiannnya mengikis semua itu.
Namun, ketika aku dititahkan untuk menjenguk Dewi Sinta dengan pesan sebuah cincin, kesalutanku akan cinta Rama pupus. Tak akan berarti kesetiaan jika tanpa kepercayaan. Begitulah Trijata, cinta membutakan siapa saja. Rama meyakini dirinya setia dengan penuh pengorbanan ingin membebaskan Sinta, tetapi ia lupa bahwa ia sendiri menyimpan kecurigaan. Jika demikian halnya, untuk apalah kesetiaan itu dimiliki?”. “Jangan kau pandang sebelah mata cinta Rama, Hanoman. Karena tanpa kecurigaan dan rasa akan kehilangan tidak akan ada rasa cinta. Rama mencintai Sinta, Rama takut kehilangan Sinta.” Hanoman meresapi kata-kata dari mulut yang dicintainya. Mereka berdua terdiam, Hanoman kembali mempercepat terbangnya. Ia merasa Trijata sudah terbiasa dengan terbangnya. Ia amat suka kecepatannya karena menyibakkan rambut Trijata yang lalu bebas ia ciumi keharumannya. Helai-helai rambut Trijata mengenai wajahnya tetapi tak menutupi pandangannya karena Hanoman melihat dengan mata batin. Mata fisiknya ia pejamkan sembari merasakan lembutnya helaian rambut Trijata. “Lihatlah,” tiba-tiba Trijata berkata. Hanoman membuka matanya. Trijata menunjuk ke laut yang sedang ditambak ribuan kera, “Mengapakah laut begitu bening hingga kita bisa melihat segala isinya?” Hanoman memelankan terbangnya mengikuti irama kawanan ikan yang ia lihat sedang berenang di laut.. Ganggang, kerang, cumi, ikan, dan segalanya terhampar di bawah mereka. Betapa indah laut meskipun bulan tak bisa bercermin.
“Ini tanda alam mengizinkan perang yang akan dijalankan Rama,” “Aku ingin menjadi Dewi Sinta,” tiba-tiba Trijata berkata manja. “Aku ingin menjadi Hanoman yang membawa terbang kekasihnya,” saut Hanoman sembari mengeratkan pelukannya. “Jika demikian, aku lebih memilih menjadi Trijata yang dibawa terbang kekasihnya,” “Kebenaran rupalah dugaanku. Kamu datang ke Maliawan dengan cinta. Dan laut mendedahkan pemandangan bukan hanya untuk Rama,” Trijata tersenyum mendengar kenyataan yang diucapkan Hanoman. Trijata menikmati keindahan terbang bersama kekasihnya. Ia menatap bulan sabit, rasanya ingin ia duduk di atas sana bersama Hanoman. Setelah menikmati keindahan laut, Hanoman meninggikan terbangnya. Di antara awan-awan ia terbang. Trijata merasa ada yang aneh dengan arah terbang Hanoman yang seperti berputar-putar di antara awan-awan. Harusnya ia sudah sampai di Alengka. “Mengapakah kita belum sampai jua? “Bukankah kau menginginkannya?” “Aku sangat ingin. Tetapi saat ini keadaan perang, Hanoman.” “Aku bisa mengundur matahari untuk terbit. Kita akan menghabiskan malam yang panjang Trijata,” “Lalu bagaimana dengan Dewi Sinta yang mengkhawatirkan nasib Rama?” “Waktu yang panjang itu hanya beberapa kedipan dari mata Dewi Sinta. Hanya beberapa hela nafas milik Rama. Kita ada di putaran waktu yang lain.” “Lalu apa yang akan kita lakukan?” “Bercinta di atas awan.”
Bulan sabit biru tak dapat bercermin di laut. Riak ombak laut bergoncang besar mengikiskan pantai Alengka. Awan-awan menyisih di antara dua sosok yang sedang bercinta. Dalam sekejap, dari tengah kedua tubuh yang bercinta melesat cahaya putih turun ke laut. Itulah benih Hanoman yang turun ke tangan Hyang Batara Baruna. “Hanoman.” tiba-tiba Trijata berkata, “Satu kedipan Dewi Sinta adalah ratusan purnama dan satu hela nafas Rama adalah ribuan senja. Begitulah dimensi waktu berlaku di hati manusia yang merindu. Maka percepatkanlah terbangmu,” Trijata kembali ingat akan Dewi Sinta yang mengutusnya untuk menjenguk keadaan Rama. “Baiklah.” Hanoman melesat dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Ia telah sampai di taman Argasoka dalam sepersekian titik cahaya. Dengan penuh ketulusan Hanoman meninggalkan Trijata. Ketika ia telah terbang setinggi pohon cemara, tiba-tiba ia membalikkan arah terbangnya. Begitupun Trijata, ia membalikkan arah jalannya ke arah tempat mereka berpisah. Dari bumi Trijata menatap Hanoman, dari udara Hanoman menyongsong tatapan itu. Dan masih dalam keadaan terbang Hanoman bersiap mengecup kening kekasihnya. Trijata memejamkan mata sebelum satu kecupan mendarat di keningnya. Ketika membuka matanya, Trijata mendapati Hanoman telah terbang kembali……
Di atas laut dua sosok terbang. Di bawah awan-awan keduanya mengambang. Yang yakin mendekap yang bimbang. Dari bumi hanya terlihat titik putih yang cemerlang, yang lebih dekat dari bintang-bintang. Ribuan kera sedang menambak laut menjadi sebuah jembatan dengan puing-puing bukit yang ditebang. Mereka menganggap titik putih itu adalah jatuhnya bintang, maka mengharaplah mereka agar junjungan mereka menang.“Trijata, gerangan apakah yang memberanikanmu datang ke Gunung Maliawan?” ucap salah satu di antaranya, sembari mendekap perempuan yang disebutnya itu ke dadanya dengan erat. “Bisakah engkau pelankan sedikit terbangmu wahai wanara putih? Aku belum terbiasa dengan kecepatan terbangmu,” kata Trijata sembari menarik-narik sarung kotak-kotak hitam putih yang dikenakan sosok yang mendekapnya. Maka turunlah kecepatan terbang mereka, “Kerinduanku pada ayahku dan juga pesan Dewi Sinta untuk menjenguk Sri Rama adalah alasan yang melebihi keberanian. Inilah ketulusan seorang anak dan kebaktian seorang hamba,” kata Trijata sembari menahan rasa ingin mengutarakan kerinduannya pada sosok yang sedang mendekapnya.
Jauh-jauh ia datang dari Alengka ke Gunung Maliawan menantang laut dan bahaya pasukan kera bukan hanya untuk Wibisana dan Dewi Sinta, melainkan lebih karena rasa cinta dan rindunya pada Hanoman, sosok yang sekarang membawanya terbang. Sejak pertemuan pertamanya di taman Argasoka, Trijata telah menjatuhkan cinta pada Hanoman, tapi ia malu mengatakan hal itu. Hanoman sendiri tahu apa yang disimpan Trijata dalam hatinya. “Aku kira ada alasan lain selain ketulusan dan kebaktian,” pancing Hanoman. “Apakah itu?” “Semisal cinta.” “Kau mengerti cinta Hanoman?” kata Trijata. Tiba-tiba dekapan Hanoman tidak erat, melainkan keras. “Maaf, bukan maksudku untuk menghina. Aku hanya ingin tahu sejauh mana kau mengerti cinta.” dekapan Hanoman kembali seperti semula. “Dahulu, aku hanya mengenal cinta lewat Ibu Anjani. Cintanya sampai sekarang masih aku simpan dalam-dalam. Aku ingin sekali menatap wajahnya setelah beliau menjadi bidadari di kahyangan. Tapi, ketika aku bertemu Sri Rama, aku baru mengerti ada cinta lain. Cinta yang mampu mendorong Sri Rama untuk membebaskan Dewi Sinta dari tangan Rahwana. Ia pemuda yang gagah perkasa. Yang wajahnya mengandung cahaya bulan. Yang kulitnya putih pualam. Yang badannya tegak tebing. Yang harumnya melati berbaur sedap malam. Ia bisa saja kembali ke kerajaannya setelah masa pengasingannya dan mempersunting seorang gadis dari manapun. Atau kalau perlu bisa lebih dari satu. Kenyataannya, kesetiannnya mengikis semua itu.
Namun, ketika aku dititahkan untuk menjenguk Dewi Sinta dengan pesan sebuah cincin, kesalutanku akan cinta Rama pupus. Tak akan berarti kesetiaan jika tanpa kepercayaan. Begitulah Trijata, cinta membutakan siapa saja. Rama meyakini dirinya setia dengan penuh pengorbanan ingin membebaskan Sinta, tetapi ia lupa bahwa ia sendiri menyimpan kecurigaan. Jika demikian halnya, untuk apalah kesetiaan itu dimiliki?”. “Jangan kau pandang sebelah mata cinta Rama, Hanoman. Karena tanpa kecurigaan dan rasa akan kehilangan tidak akan ada rasa cinta. Rama mencintai Sinta, Rama takut kehilangan Sinta.” Hanoman meresapi kata-kata dari mulut yang dicintainya. Mereka berdua terdiam, Hanoman kembali mempercepat terbangnya. Ia merasa Trijata sudah terbiasa dengan terbangnya. Ia amat suka kecepatannya karena menyibakkan rambut Trijata yang lalu bebas ia ciumi keharumannya. Helai-helai rambut Trijata mengenai wajahnya tetapi tak menutupi pandangannya karena Hanoman melihat dengan mata batin. Mata fisiknya ia pejamkan sembari merasakan lembutnya helaian rambut Trijata. “Lihatlah,” tiba-tiba Trijata berkata. Hanoman membuka matanya. Trijata menunjuk ke laut yang sedang ditambak ribuan kera, “Mengapakah laut begitu bening hingga kita bisa melihat segala isinya?” Hanoman memelankan terbangnya mengikuti irama kawanan ikan yang ia lihat sedang berenang di laut.. Ganggang, kerang, cumi, ikan, dan segalanya terhampar di bawah mereka. Betapa indah laut meskipun bulan tak bisa bercermin.
“Ini tanda alam mengizinkan perang yang akan dijalankan Rama,” “Aku ingin menjadi Dewi Sinta,” tiba-tiba Trijata berkata manja. “Aku ingin menjadi Hanoman yang membawa terbang kekasihnya,” saut Hanoman sembari mengeratkan pelukannya. “Jika demikian, aku lebih memilih menjadi Trijata yang dibawa terbang kekasihnya,” “Kebenaran rupalah dugaanku. Kamu datang ke Maliawan dengan cinta. Dan laut mendedahkan pemandangan bukan hanya untuk Rama,” Trijata tersenyum mendengar kenyataan yang diucapkan Hanoman. Trijata menikmati keindahan terbang bersama kekasihnya. Ia menatap bulan sabit, rasanya ingin ia duduk di atas sana bersama Hanoman. Setelah menikmati keindahan laut, Hanoman meninggikan terbangnya. Di antara awan-awan ia terbang. Trijata merasa ada yang aneh dengan arah terbang Hanoman yang seperti berputar-putar di antara awan-awan. Harusnya ia sudah sampai di Alengka. “Mengapakah kita belum sampai jua? “Bukankah kau menginginkannya?” “Aku sangat ingin. Tetapi saat ini keadaan perang, Hanoman.” “Aku bisa mengundur matahari untuk terbit. Kita akan menghabiskan malam yang panjang Trijata,” “Lalu bagaimana dengan Dewi Sinta yang mengkhawatirkan nasib Rama?” “Waktu yang panjang itu hanya beberapa kedipan dari mata Dewi Sinta. Hanya beberapa hela nafas milik Rama. Kita ada di putaran waktu yang lain.” “Lalu apa yang akan kita lakukan?” “Bercinta di atas awan.”
Bulan sabit biru tak dapat bercermin di laut. Riak ombak laut bergoncang besar mengikiskan pantai Alengka. Awan-awan menyisih di antara dua sosok yang sedang bercinta. Dalam sekejap, dari tengah kedua tubuh yang bercinta melesat cahaya putih turun ke laut. Itulah benih Hanoman yang turun ke tangan Hyang Batara Baruna. “Hanoman.” tiba-tiba Trijata berkata, “Satu kedipan Dewi Sinta adalah ratusan purnama dan satu hela nafas Rama adalah ribuan senja. Begitulah dimensi waktu berlaku di hati manusia yang merindu. Maka percepatkanlah terbangmu,” Trijata kembali ingat akan Dewi Sinta yang mengutusnya untuk menjenguk keadaan Rama. “Baiklah.” Hanoman melesat dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Ia telah sampai di taman Argasoka dalam sepersekian titik cahaya. Dengan penuh ketulusan Hanoman meninggalkan Trijata. Ketika ia telah terbang setinggi pohon cemara, tiba-tiba ia membalikkan arah terbangnya. Begitupun Trijata, ia membalikkan arah jalannya ke arah tempat mereka berpisah. Dari bumi Trijata menatap Hanoman, dari udara Hanoman menyongsong tatapan itu. Dan masih dalam keadaan terbang Hanoman bersiap mengecup kening kekasihnya. Trijata memejamkan mata sebelum satu kecupan mendarat di keningnya. Ketika membuka matanya, Trijata mendapati Hanoman telah terbang kembali……
0 komentar:
Posting Komentar